Ceritatetangga.com – Cerita Sex Les Private. Aku seorang guru muda usia 25 tahun yang cukup beruntung dapat mengajar di-sekolah dasar swasta favorit walaupun ditempatkan dicabangnya yang di Sektor IX Bintaro Jaya. Bisa dikatakan aku seorang guru yang baik, menurut para orang tua murid yang menyekolahkan anak mereka di sekolah tempat aku mengajar. Kepala Sekolah dan beberapa guru yang lebih senior sering mengakui kepandaianku dalam memberikan pelajaran.Oleh karena itu beberapa orang tua murid meminta aku untuk memberi tambahan pelajaran untuk anak mereka secara pribadi di rumah mereka. Tawaran itu sepanjang memang waktunya tersedia aku layani, lumayan untuk pendapatan tambahan. Krbijakan di-Sekolah memang membolehkan guru untuk memberi les untuk murid dari kelas yang diajar oleh guru lain.
Dalam banyak rumah yang aku kunjungi, yang aku paling sukai pergi ke rumah Melia, seorang murid yang tinggal di-Sektor IX Bintaro Jaya juga, kira-kira 2 km dari tempat kost-ku di-daerah perigi. Dia murid kelas 2 dan seperti kebanyakan murid-murid di-sekolahku lainnya ia juga keturunan Cina. Bila giliran aku ke rumahnya (dua kali seminggu), aku cukup bersemangat, karena ibunya seorang wanita cantik. Aku memanggilnya Ibu Renna. Umurnya awal 30-an dan dia tidak bekerja. Suaminya seorang arsitek yang karirnya cukup sukses diperusahaan swasta group Sinar Mas.
Saat aku mengajar anaknya, dia tidak menunggui tetapi akan masuk ke kamar atau sibuk di dapur. Memang aku kurang suka ditunggui ketika sedang mengajar, bisa mengganggu konsentrasi. Kurang lebih 15 menit sebelum les selesai, ibu Renna biasanya akan keluar duduk di sofa. Setelah selesai les, Melia akan masuk ke kamar dan menyambung belajar, sementara aku ngobrol dengan ibu Renna. Dari situlah aku tahu sedikit tentang latar belakangnya.
Sebagai informasi, aku memberi les dirumahnya waktu malam, pukul 8.00 hingga 9.30. Kadangkala suaminya ada, kalau dia pulang cepat. Hubungan aku dengan mereka bisa dikatakan baik. Mereka suami isteri yang menyenangkan. Saat imlek, aku diberinya angpau. Salah satu sebab aku menyenangi mereka adalah untuk membiasakan Melia mereka menggunakan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi sehari-hari dan aku bisa ikut latihan berbahasa Inggris bersama mereka walaupun kadang-kadang masih campur dengan bahasa Indonesia.
Ibu Renna sewaktu dirumah gemar memakai celana pendek dan T-Shirt saja. Ini membuatkan bentuk tubuhnya yang montok itu terpampang. Aku kadangkala mencuri pandang keelokan wajah dan tubuhnya itu, hingga kemaluanku menegang. Aku sering membayangkan untuk dapat bercinta dengannya. Rambutnya yang panjang dan lurus, kulitnya yang putih, mulus dan bersih, dan tubuhnya yang montok serta pinggangnya yang ramping itu membuat aku kadang-kadang gelisah kalau duduk berdekatan dengannya. Itulah sebabnya, dibanding dengan murid-murid les lainnya, aku paling semangat memberi les ke-Melia karena berarti juga bertemu dengan Ibu Renna. Walaupun ia telah mempunyai seorang anak yang berusia 8 tahun, badannya sangat terawat, bak perawan. Ibu Renna sangat pandai menjaga tubuhnya.
Pernah Ibu Renna memakai celana yang sangat pendek dan T-Shirt ketat yang menampakkan perut dan pusarnya. Saat itu aku betul-betul terangsang, sulit konsentrasi mengajar sebab mata mencuri-curi melirik ke arah tubuhnya. Pulang ketempat kos, aku langsung ber-onani ria sambil membayangkan bersetubuh dengannya.
Hari berganti hari, tanpa terasa sudah hampir 9 bulan aku mengajar anaknya. Hasil yang diperoleh memang baik, karena ia mendapat ranking 3 besar dikelasnya. Aku jelas bangga. Ibu Renna juga bangga dan mengucapkan terima kasih kepadaku. Suaminya yang cukup ramah itu jika ketemu selalu mengajak diskusi mengenai beberapa hal tetapi terutama yang berkaitan dengan pekerjaannya sebagai arsitek atau proyek perumahan dimana dia terlibat. Aku layani saja, walau hanya sedikit tahu mengenai itu. Sebagai guru, cukup wajar kaalu aku pandai bicara.
Setelah selesai evaluasi hasil belajar semester II, aku tetap diminta untuk memberi les anak mereka lagi sampai liburan sekolah, katanya untuk persiapan tahun depan. Aku setuju saja. Maka, mengajarlah aku sampai tiba libur kenaikan kelas.
Minggu ini minggu terakhir, setelah itu akan segera libur panjang. Malam itu seperti biasa aku pergi ke rumah mereka buat memberi les terakhir sebelum libur. Suaminya kebetulan ada. Habis mengajar, seperti biasa aku diberi sekedar makanan kecil dan minuman pelepas dahaga. Ibu Renna dan juga suaminya menemaniku duduk bersama ngobrol.
“Pak Danang” sapa suami Ibu Renna memulai perbicaraan.
“Ya” jawabku ringkas sambil menantikan kata-katanya.
“Minggu depan saya mesti pergi ke-Balikpapan. Ngurusin proyek” sambungnya.
“Wah, baguslah” jawabku.
“But the problem is, I must go there one week”
“Then, What the problem you got” jawabku.
“Nobody will be here to take care of my family and as you know we don’t have pembantu rumah tangga, rasanya nggok tega ninggalin Melia dan mamanya hanya berdua terutama di-malam hari”
“You can call your saudara”
“I did, but they cannot help. They have a lot of work to do” balasnya dengan wajah yang agak kesal.
“I hope you can help me” sambungnya.
“Tolong !!” aku terkejut dengan permintaan itu.
“How”
“stay here at night”
“Haaa !!!” tersentak aku dengan permintaannya. “But next week libur, Saya punya rencana pulang kampung”
“Just one week, please”
“Pak Danang, you cuma datang malam, sleep here. I got room for you. Then pagi, you can go anywhere you want” Ibu Renna menyambung setelah lama diam membiarkan suaminya saja yang berbicara.
“You know, Saya tak ada orang lain yang bisa Saya harap. This area is not good, a lot of empty houses around here and we practically don’t have a neighbor. It’s must be a man in the house at night. Nanti kalau saya pergi, tinggal my wife and my daughter only”
“Plese Pak Danang, please think about it” sambung Ibu Renna saat melihat aku hanya diam.
“I’ll pay you” kata suaminya.
“It’s not about money” balasku.
“Then ?”
“When will you go?” tanya aku.
“This Sunday, and I’ll be home next Saturday” jawabnya penuh ceria.
Mungkin mengira aku sudah setuju. Aku pikir-pikir ini bukan ide yang buruk, aku akan mendapat uang yang lumayan disamping itu inilah peluang emas agar aku dapat lebih dekat dengan ibu Renna.
“O.K.lah” sambungku.
“But just one week”
“O.K…O.K….” balas mereka serentak dengan senyuman.
“Thanks” sambung Ibu Renna sambil tersenyum ke arahku.
Aku tenang saja sambil meneguk air yang disuguhkan.
“This Sunday night saya datang” kataku sambil berdiri hendak pulang.
“O.K. I will prepare your room” balas Ibu Renna sambil mengikuti aku ke muka pintu.
“saya pulang dulu”
“Thanks Pak Danang” suaminya berkata sambil berjabat tangan denganku.
“Thank you very much”
Aku pun pulang ke rumah. Malam itu, aku kewartel dan telpon kampung, aku bilang ada perubahan rencana aku akan kursus dulu selama seminggu sehingga acara pulang kampung sedikit tertunda.
Hari ini hari Jumat, hari terakhir sekolah. Lusa aku akan ke rumah Ibu Renna menemani Ibu Renna dan Melia. Kawan-kawan sekostkupun yang kebetulan juga guru di sekolah yang sama, sudah pulang ke kampung halaman masing-masing. Tinggal aku seorang diri, cukup membosankan.
Minggu malam aku akan tidur di rumah Ibu Renna. Aku memikirkan rencana yang tidak-tidak seperti untuk mengintip Ibu Renna mandi, atau mengintip saat Ibu Renna tidur. Inilah kesempatanku untuk menatap tubuhnya yang seksi itu sepuasnya. Kalau saat aku mengajar, aku kurang berkesempatan, kalau aku tidur di sana, aku tidak akan menyia-nyia-kan ini. Aku sangat berharap dapat mengintip Ibu Renna mandi, atau paling tidak dapat melihatnya keluar dari kamar mandi dengan hanya menutup badannya dengan handuk……
Membayangkan itu, aku tidur dalam keadaan ngaceng berat malam itu……..
Minggu malam, jam menunjukkan pukul 10.30 malam, aku tiba di perkarangan rumah Ibu Renna dengan motor bebekku. Suasana agak sunyi, hanya dari kejauhan menggonggong sesekali memecah kesunyian. Aku masuk, lalu aku rapatkan lagi pintu pagar itu sekaligus menggemboknya. Aku sebelumnya memang telah diberitahu untuk langsung mengunci pagar.Selesai mengunci pagar dan motor bebek, aku pun mengetuk pintu rumahnya. Diam. Tak ada jawaban, aku ketuk lagi berulang kali, masih nggak ada suara. Hatiku mulai waswas, jangan-jangan ada sesuatu yang terjadi kepada mereka berdua di dalam. Aku ketuk lagi, kali ini agak kuat.
“Coming !!” aku dengar suara Ibu Renna menyahut.
Kemudian, pintu pun dibuka, ku lihat Ibu Renna seperti yang aku bayang2kan yaitu hanya pakai handuk untuk menutup badannya. Tapi handuk itu kelihatannya tidak cukup untuk menutup badannya dengan sempurna. Pangkal buah dadanya yang putih bersih itu tampak jelas saat dia tunduk membuka kunci. Pangkal pahanya yang mulus juga tampak dengan jelas. Aku langsung ngaceng.
“Please coming” katanya.
Aku pun masuk dan sewaktu melintasinya, bau harum sabun masih tercium dari tubuhnya, aku menoleh lagi ke belakang, Ibu Renna sedang menguncikan lagi pintu. Aku lihat tubuhnya dari arah belakang, wow, pantatnya yang montok dan padat itu sekali lagi membangkitkan nafsu aku. Pinggangnya yang ramping serta bentuk tubuhnya yang menggiurkan itu sama sekali tidak menunjukkan dia sudah punya anak.
“Sorry, make you waiting” katanya sambil berlalu. “Saya mandi tadi”
“It’s OK” balasku.
“Duduklah, Saya mau pakai baju dulu” sambungnya sambil menuju ke tingkat atas. Mataku tidak lepas dari tubuh seksi itu sampai hilang dari pandangan. Aku pun duduk di sofa, sambil membalik-balik majalah yang ada di situ.
Tak lama kemudian, Ibu Renna pun turun, lalu terus ke dapur. Dia kembali ke ruang tamu dengan dua gelas air sirop di tangannya. Ibu Renna mengenakan pakaian tidur warna pink yang agak transparan, hingga menampakkan bayangan celana dalam dan bhnya. Sesaat dia tunduk meletakkan air atas meja, aku sempat mengerling ke arah buah dadanya, kelihatan pangkal buah dadanya yang dibaluti bh berwarna hijau muda. Sekali lagi, kemaluan aku mengeras.
“silahkan minum” katanya sambil duduk berhadapan dengan aku.
“Thanks” aku menjawab sambil mengambil air sirop yang terhidang itu.
“Thanks, because you bersedia datang” Ibu Renna membuka pembicaraan.
“Mana Melia” tanyaku karena anak tunggal itu dari tadi tidak kelihatan.
“Ohh…. dia sudah tidur”
“Jam segini sudah tidur ?”
“Memang dia tidur awal, pukul 10.00 pasti saya suruh dia untuk tidur”
“Oooo …. like that”
Kami terus ngobrol, dari situlah aku tahu serba sedikit tentang keluarga ini. Sewaktu ngobrol, aku tidak bosan-bosannya melihat keayuan wajahnya, matanya tak sesipit orang Cina lainnya. Kulitnya putih dengan rambut ikal mayang, tambah pula dengan bentuk tubuhnya yang ramping dan dadanya yang montok itu membuatkan aku ingin segera memeluknya. Wangian tubuhnya memenuhi ruang tamu yang agak dingin itu.
“How old are you” tanyanya setelah sekian lama.
“25”, jawabku singkat.
“Sudah ada rencana menikah?”
“belum”
“Jangan tunggu lama lama”
“Lelaki terlambat sedikit nggak masalah”
“Hmmm ….”
Aku terus diam, belum menemukan bahan pembicaraan lain. Dia pun begitu. Aku baca majalah sambil sesekali ekor mata menelusuri tubuhnya.
“Let me show you your room”, katanya sambil berdiri dan berjalan ke tingkat atas. Aku pun ikut seperti kerbau dicocok hidung.
Dari belakang, aku memerhatikan lenggok pantatnya menaiki tangga. Rasanya mau aku remas p****t itu, tapi apa daya takut dikira kurang ajar. Di tingkat atas, terdapat tiga kamar. Kamar depan, master room, kamar Ibu Renna dan suaminya. Kamar tengah, Melia.
“Here’s your room” katanya sambil membukakan pintu kamar belakang. Sedikit kecil, dengan kasur dan lemari yang tersusun rapi. “I hope you like it”
“Yes, thank you” balasku.
“Saya mau tidur dulu, kalau Pak Danang mau lihat TV, you know how to do it. DVD pun ada. Make
yourself at home” jelasnya sambil meninggalkan aku.
“OK thanks, Saya memang suka tidur telat” balasku.
Dia masuk ke kamarnya, aku turun lagi ke ruang tamu menonton TV. Sambil aku membalik-balik majalah yang ada di situ.
Mata semakin mengantuk, kulihat jam menunjukkan pukul 2.30 pagi. Aku matikan TV lalu ke tingkat atas. Saat melintasi kamar Ibu Renna, aku dapati pintunya tidak bertutup rapat. Timbul niat di hati ku untuk melihat dia tidur. Pelan-lahan aku buka pintu, lalu masuk ke dalam kamarnya. Ibu Renna sedang tidur nyenyak, menghadap ke arahku.
Aku menatap ke seluruh tubuhnya yang sedang nyenyak tidur itu. Dasternya tersingkap sedikit,pangkal pahanya yang mulus terpampang dengan jelas. Dadanya naik turun menghembus udara, bhnya sudah dicopot. Aku tatap sepuasnya, sambil mengusap kemaluan. Aku dekatkan mukaku ke arah wajahnya, wangian kulit dan rambutnya membuat aku terasa hendak mencium pipi yang mulus itu. Agak lama aku buat begitu, rasanya aku mau terkam saja wanita Cina itu. Tapi timbul kesadaranku, waktu masih banyak. Kalau terlalu terburu-buru, takut justru rencana berantakan.
Kemudian, aku keluar lalu menutup pintu kamarnya. Aku masuk ke kamar lalu tidur, sebelum tidur aku sempat membayangkan pemandangan tadi…….
Sedang aku dibuai mimpi, pintu kamarku diketuk. Kedengaran suara Ibu Renna menyuruh aku bangun, rupa-rupa sudah pagi. Aku bangun, cuci muka dan turun. Kelihatan Ibu Renna menunggu aku dengan dua cangkir teh di atas meja. Dia masih berpakaian tidur. Aku minum lalu meminta diri untuk pulang. Di rumah aku teruskan tidurku.
Malam kedua. Seperti biasa, aku tutup dan kunci pagar rumahnya. Saat pintu dibuka, Ibu Renna sudah berpakaian tidur sejenis daster, tetapi masih harum bau parfumnya. Setelah itu, aku dipersilakan minum sambil kami ngobrol ngalor ngidul sehingga mata mengantuk.
Aku sempat bertanya mengapa saudaranya enggan menemani mereka. Ibu Renna menjelaskan bahwa mereka terlalu sibuk dengan urusan dan saudara dari fihak suami tidak begitu menyukainya. Aku hanya menganggukkan kepala saja tanpa ingin mengetahui lebih lanjut.
“Pak Danang, Saya mau tidur dulu” katanya sambil melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 11.30 malam.
“OK” balas ku ringkas.
Ibu Renna berlalu meninggalkan aku sendirian di ruang tamu. Aku memerhatikan lenggak-lenggok pinggulnya yang mengairahkan itu hingga hilang dari pandangan.
“Malam ini aku mau intip dia lagi, kalau bisa mau pegang sedikit”, tekadku dalam hati.
Aku masih di-ruang tamu nonton TV. Sendirian. Sunyi. Tiba-tiba Ibu Renna turun dan terus ke dapur. Ketika itu jam menunjukkan pukul 12.30 malam.
“Mungkin haus” kata hatiku.
Tak lama kemudian, Ibu Renna kembali dan terus menaiki anak tangga.
Tiba-tiba ……
“Auchhhh !!!! ……. Arrrgghhhh !!!!!” terdengar jeritan Ibu Renna di tangga.
Aku lari kearahnya dan dapati dia terjatuh di atas tangga sambil tangan memegang pergelangan kaki kirinya. Mukanya berkerut menahan sakit.
“Why? What happened ?” tanyaku seraya duduk di hadapannya.
“Saya terkilir”
“Mana yang sakit?” tanyaku. Dia menunjukkan ke arah pergelangan kaki kirinya.
“Let me see” balasku sambil memegang dan memijit-mijit pergelangan kaki mencari yang sakit.
Dengan pengalaman saat di-Pramuka, aku tau sedikit menangani hal seperti ini.
Aku terus memijit dan mengurut daerah pergelangan itu, sesekali dia menjerit kecil karena kesakitan.
“Bisa jalan?” aku tanya.
Ibu Renna tak menjawab, dia terus bangun, coba untuk berdiri. Tetapi dia terduduk kembali.
“Tak bisa” jawabnya mengerutkan muka.
“Let me help you. I will take you up stairs” balasku terus berdiri.
Ibu Renna setuju. Dia memegang leherku dengan tangan kirinya. Aku memapahnya naik sambil tangan kananku melingkar pinggangnya. Aku memapahnya pelan-lahan. Saat itu, aku sempat menyentuh punggungnya dan aku tahu dia tak pakai bh. Aku teruskan langkah, tiba-tiba kakinya tergelincir lagi. Dia hampir terjatuh. Aku segera menyambut dengan melingkarkan kedua tanganku dibagian pinggangnya. Ibu Renna juga turut bergantung di leher dan bahuku dengan kedua tangannya. Kami hampir berpelukan. Ketika itu, aku simpulkan Ibu Renna tak pakai celana dalam juga. “Mungkin kalau tidur dia tak pernah pakai pakaian dalam” kataku dalam hati.
Aku melambatkan langkah agar dapat melingkari pinggangnya lebih lama. Dia kelihatan pasrah saja. Sampai di kamarnya, aku masuk dan tutup pintu. Aku dudukkan Ibu Renna dengan bersandarkan
bantal. Kakinya kujulurkan.
“Biar saya urut sedikit” kataku sambil tangan sudah ada di pergelangan kakinya. Dia hanya menggangukkan kepala. Aku terus memijit dan mengurut dengan pelan. Aku alurkan urutan dari atas ke bawah, hingga ke jari kakinya. Agak lama aku mengurut sekitar daerah sakit itu.
“Masih Sakit?”
“Sudah kurang sedikit”
Aku terus mengurut. Aku semakin berani. Aku urut betisnya. Dia tak melarang. Sesekali wajahnya berkerut menahan sakit. Aku teruskan mengurut, kini dasternya aku singkapkan sedikit. Kemaluan aku sudah naik. Aku lihat Ibu Renna diam saja. Aku semakin panas. Aku masukkan jari aku ke dalam dasternya. Aku mulai urut paha hingga ke pangkalnya. Ibu Renna hanya mendesis kegelian. Tak nampak tanda protes di wajahnya. Kini, aku bukan mengurut, tapi meraba dan mengelus. Aku terus raba dan usap pahanya hingga ke pangkal, sekaligus kedua-duanya. Matanya kelihatan terpejam, sesekali mendesis mengerang dengan manja. Aku meraba semaunya, kesempatan semacam ini jarang terjadi.
“Pinter ngurut juga ya” sapanya sambil tersenyum. Aku terkejut, bersamaan dengan itu, aku melepaskan tanganku dari pahanya.
“Tolong pijit bahu dong” pintanya. Lega hatiku. Aku pikir dia mau marah, rupa-rupanya mau aku pijit badannya. Ibu Renna bangun duduk dan membelakangi aku.
Aku letakkan kedua tapak tanganku di bahunya, aku pijit lembut. Aku pijit dan urut sekitar bahunya dengan pelan. Sesekali aku pijit pangkal lehernya hingga ke bahu.
“Mmmmm ….. mmmmm ……” suara rintihan Ibu Renna lembut kedengaran.
Aku terus mengurut, hingga ke bagian punggungnya. Aku alurkan jari aku ke tengah punggungnya. Ibu Renna merintih manja. Sesekali aku arahkan tanganku ke bawah ketiaknya hingga ke pangkal buah dadanya. Setelah itu, aku urutkan lagi sekitar bahu dan lehernya.
Rambutnya yang ikal itu aku belai serta lehernya aku usapkan dengan lembut. Harum badannya menusuk hidung, membangkitkan nafsuku.
“Ahhh ….. mmmmmm ….”
Aku sudah ngaceng berat. Batangku aku tempelkan ketubuhnya, menusuk pantatnya. Aku tahu dia tahu, tapi tetap acuh. Aku sudah tak tahan lagi. Aku coba arahkan tanganku ke pangkal buah dadanya melalui atas. Sambil aku memijit-mijit bahu depannya, aku turun sedikit hingga ke pangkal buah d**a. Dari atas jelas kelihatan bayangan buah d**a dalam baju tidurnya yang agak jarang itu.
Aku arahkan lagi tanganku ke bahu. Kemudian turun lagi memegang buah dadanya. Sentuh saja sedikit, aku terus arahkan kembali ke bahu. Ternyata Ibu Renna tak melarang saat aku menyentuh buah dadanya. Aku coba lagi. Aku sentuh lagi, kali ini agak lama. Masih tidak menunjukkan respon negatif. Hanya kedengaran suara desisan manjanya saja bila diperlakukan demikian.
Aku coba lagi. Aku pegang dan remas buah dadanya dengan lembut. Kali ini aku nekat, jari ku memilin putingnya.
“Hei ! jangan begitu” larangnya, tapi suaranya tidak begitu kuat. Kelihatannya tidak sungguh-sungguh. Tapi aku terus menarik tanganku dari dalam dasternya.
“You urut my whole body” pintanya sambil meniarapkan badan.
Sekujur tubuh yang seksi telungkup di hadapan ku. Kemaluanku makin tegang. Dengan daster yang transparan itu, menampakkan seluruh bentuk tubuhnya yang menggiurkan. Pantatnya yang montok, pinggangnya yang ramping dengan kulitnya yang cerah membuatkan nafsuku bangkit.
Tanpa buang waktu, aku letakkan kedua tapak tanganku di bahunya. Lalu aku usap, aku urutkan ke bawah.