Ceritatetangga.com – DUNIA SEPHIA. Sebut saja namanya Belqis, gadis ini tiba-tiba menyapaku melalui pesan singkat, waktu itu belum ada Whatsapp.
“Salam kenal, kamu baca juga Jokpin?”
“Salam kenal juga, maaf ini siapa, ya?” jawabku, karena sungkan lawan bicara tidak memperkenalkan dirinya terlebih dahulu.
Alih menjawab dia memberi pertanyaan, “Suratan nasib: tersimpan rapi di laci meja.”
“…dan tak (akan) pernah kubuka,” jawabku ringkas.
Sengaja agak sedikit kubedakan dengan bait aslinya. Joko Pinurbo, poet modern yang menurutku salah satu yang terbaik menyublim rasa, mungkin tidak keberatan kalau kutambahkan tanda kurung. Tapi dia keberatan.
“Kenapa kamu pakai tanda kurung?” tanya lawan bicaraku di sebelah.
“Kamu belum menjawab pertanyaanku, jawab dulu, baru aku menjawabmu.” Aku berusaha tegas.
“Perkenalkan, aku Belqis, menemukan puisimu di forum.” Akhirnya dia memperkenalkan diri juga.
“Oh, salam kenal Belqis, aku Raka, jawabku pendek.”
“Aku, tau kamu Raka.”
“Yakin, kamu tau?”
“Memang, aku perlu tau apalagi?”
Ah, gadis ini, pintar berdebat, atau memancing, aku belum pernah berkenalan dengan gadis seperti ini sebelumnya.
Ketimbang menjawabnya, aku membereskan meja kerjaku. Hari ini matahari tidak terlalu terik untuk pulang lebih awal. Mungkin kalau beruntung aku bisa beli nasi goreng pinggir gang kostan. Lalu punya cukup energi untuk menjawab pertanyaan pancingan seorang gadis yang tak pernah kukenal sebelumya. Setelah menyapa teman kerja di sebelah meja, aku segera melangkah keluar ruangan untuk meninggalkan gedung kantor. Terik matahari jam 4 sore melintas ke rambut dan keningku, membawa hangat mengganti dinginnya pengatur temperatur di dalam gedung. Pandanganku ke depan melihat lalu lalang kendaraan, di antara rel kereta yang akan kuseberangi. Ada rasa enggan, malas sekali harus berhadapan dengan kendaraan tak punya perasaan.
Tring.
“Kenapa kamu tidak menjawab?”
“Pasti kubalas.”
“Aku tidak menunggu.”
“Lalu apa maumu?”
Lalu tidak ada lagi balasan darinya.
“Maaf Belqis, tadi aku sedang bersiap pulang.” Akhirnya, aku memelankan nada.
“Oh tidak apa, aku sedang menunggu pesanan makanan. Sembari menunggu hal lain.”
“Pulang kuliah? Kerja?”
“Nanti malam. Masih ada pasien.”
“Dokter di mana?”
“Aku buka klinik di Menteng.”
“Ah, aku tidak tau ada fasilitas kesehatan di sana.”
“Klinik gigi. Kamu?”
Aku kembali menerawang, langkahku sudah mulai berat mendekati simpangan antara kostan dan kampus Binus. Makan tapi dengan risiko meluangkan lebih banyak waktu di luar dengan menerawang, atau pulang dan segera menghantam diri dengan waktu tidur.
“Aku, bukan siapa-siapa. Cuma pekerja kantoran.”
“Tapi, aku tau kamu lebih dari itu.”
“Maksudmu?”
Kali ini dia yang tidak membalas. Aku menatap lirih layar telepon, tak peduli si tukang nasi goreng kini mencampur nasi dan telur pesananku di kuali.
“Kamu pintar.”
“Oh, kamu bilang aku pintar cuma karena aku membual puisi di forum?”
“Bukan.”
“Jadi?”
“Ya, kamu pintar, aja.”
Kita menghabiskan waktu saling melempar tanya, jawab, pancingan, tarikan. Nasi goreng sudah kusantap. Tapi bahasanku dengan Belqis belum juga tanda-tanda selesai. Tak terasa saling melempar pancing ini membuatku tidak sadar.
Hingga telepon ku kembali berdering, tapi nama di layar bukan nomor tak kukenal dari gadis bernama Belqis. Tapi dari istriku.
“Halo, sayang?”
“Kok, kamu nggak ngabarin.”
“Baru selesai makan.”
Sial, aku lupa menelpon istriku sendiri karena terlalu asik dengan gadis tak kukenal. Aku mencoba menenangkan kegusaran istriku. Kami memang sudah tiga bulan ini berhubungan jarak jauh. Alasannya sih awalnya karena memang aku tidak punya cukup uang untuk membawa istriku ke Jakarta. Ibukota ini memang jahat sekali, memisahkan aku pemuda tanggung dari belahan jiwanya sendiri. Itu yang selalu kuulang di kepala dan di hati sebagai pembenaran tidak membawa istriku ke Jakarta.
Gajiku waktu itu, 1,2 juta. Setengahnya, 600 ribu, kukirim ke istriku yang masih tinggal dengan orangtuanya di Cirebon. Sementara 300 ribu kupakai untuk bayar kostan. Aku hidup dengan sisanya yang sebesar 300 ribu. Cukup? Tidak. Aku hanya bisa makan sehari dua kali. Itu pun salah satunya tidak pakai lauk dengan protein hewan. Tapi aku terima gaji itu meski lulusan sarjana, karena ingin mengadu peruntungan di ibukota.
“Sayang, adek kangen.”
“Iya sayang, abang juga kangen kok.” Pamitku dari komunikasi dengan istriku.
Belum sempat layar teleponku beristirahat, dering kembali berbunyi. Tidak sengaja terangkat sebenarnya.
“Kamu, kok nggak balas.”
Aku terkejut dengan suara wanita lain di ujung gawai.
“Oh, kamu kenapa telepon?”
“Aku khawatir aja.”
“Bukannya kamu masih ada pasien.”
“Tidak jadi, beliau minta cancel.”
“Halo, Belqis, salam kenal perkenalkan saya Raka.”
Aku berusaha sopan memperkenalkan diri, ketika akhirnya kami saling bertukar suara. Suaranya lembut, manja tapi menenangkan.
“Halo, Raka. Iya, salam kenal juga.”
“Lalu, ada apa Belqis?”
“Kenapa nggak balas tadi?”
“Aku sedang jalan pulang.”
“Kamu bisa tetap balas.”
“Ya, tapi aku memilih tidak.”
Dia menjeda.
“Maaf, aku cuma khawatir.”
“Khawatir bahwa?”
“Kamu tidak.”
“Tidak apa?”
“….”
Dia tidak membalas.
“Sekarang kamu yang nggak balas.”
“Huu.”
“Sudah tenang?”
“Iya, dengar suara kamu menenangkan ternyata.”
“Banyak yang bilang gitu.”
“Siapa aja?”
“Kamu.”
“Selain itu?”
“Ya, kamu.”
“Huu.”
“Syukurlah kalau kamu sudah tenang.”
“Kamu di mana?”
“Kostan.”
“Di mana itu?”
“Rawa Belong.”
“Aku nggak tahu.”
“Kok, emang kamu bukan penduduk asli Jakarta?”
“Ya, aku baru pindah dari Bandung.”
“Udah lama, di Jakarta?”
“Belum. Baru 1 tahun.”
“Oh, sama.”
“Kamu dari mana?”
“Bandung juga kuliahnya. Tapi aslinya Solo.”
“Ah, jangan bilang kamu dari Jatinangor.”
“Iya emang.”
“Wah, satu kampus.”
“Angkatan berapa?”
“96. Kamu?”
“2001.”
“Hah?”
“Wah, maaf senpai saya tidak tau kamu kakak angkatan.”
“Kenapa minta maaf.”
“Karena kepikiran menggoda kamu.”
“Emang kamu pikir aku nggak mau digoda?”
“Ah, iya maaf sudah sok tau.”
“Tapi, aku mau tau, kita bisa kah ketemu?”
“– “
Aku urung berkata-kata. Bukan bingung harus menjawab apa, tapi bingung aku maunya menjawab apa.
“Bisa.”
“Kamu di mana?”
“Aku aja yang ke tempat kamu.”
Aku langsung mengalihkan, malu rasanya kalau Belqis dokter gigi yang baru kukenal ini mampir ke kostanku yang tak layak dihuni.
“Ok. Kutunggu ya. Aku ngontrak sama teman-teman sekitar Mayestik.”
“Ok.”
Segera setelah mandi dan mengganti pakaian dengan yang lebih kasual, aku mengejar angkot menuju Mayestik.
–
–
–
–
–
–
“…”
Di hadapanku kini Belqis yang baru kukenal hari ini tampak luar biasa cantik. Gadis yang setelahnya kuketahui umurnya tiga tahun di atas ku menatapku dengan senyum menghiasi wajahnya. Jilbab hitam mempercantik wajahnya, turun hingga ke bagian dadanya. Meski tidak terlalu membantu menyembunyikan tonjolannya. Parasnya, entah bagaimana cara menjelaskannya ya, keturunan arab, putih susu mengkilap dengan raut lonjong ditemani alis tebal dan mata yang menyala. Bibirnya merah tampak menggemaskan berhadapan dengan dagunya. Nafasku langsung berjeda.
“Kok diam.”
“Kamu juga, diam tadi.”
“Kamu, suara kamu di telepon tadi ngebas, ya.”
“Gitu ya, suara kamu bikin deg-degan sih.”
“Ketemu orangnya, deg-degan juga?”
“Kamu pikir, kenapa tadi aku diam.”
Dia menggenggam tangan ku dan mengajakku masuk ke kamarnya, “Sini yuk.”
Aku terkejut melihat kamarnya yang besar, wangi, dan terang.
“Raka.”
“Ya, Belqis.”
Di dinding ada tulisan queenbee.
“Princess.”
Dia diam.
Entah apa sebab awalnya, tiba-tiba dia langsung membenamkan bibirnya ke bibirku. Setelah terkejutku hilang, akhirnya aku membalas ciumannya. Gila, lembut sekali bibirnya. Ini kali pertama aku mencium gadis dengan bibir selembut ini. Aku masih terkejut dengan rasanya, dia memelukku hangat. Agresif sekali gadis ini. Aku balas memeluknya, tanganku ada di punggung, sedikit atas dari pantatnya. Walau begitu, aku sudah merasakan gundukannya. Kenyal sekali.
“Ka.”
“Ya?”
“Maaf, ya tapi aku nggak bisa berhenti.”
Tanpa menunggu jawabku dia langsung menjilati leherku. Aku membiarkannya. Tapi tanganku minta balas jasa, kini sudah masuk ke dalam celana khakinya. Merasakan gundukan pantatnya dari balik celana dalamnya langsung.
“Ah, siapa juga yang memintamu berhenti.”
“Ka…”
“Ya, Belqis.”
“Buka bajunya.”
“Baju kamu?”
“Bukan, baju kamu.”
Aku baru mau melepas kaosku, dia tak sabar langsung menariknya. Wah, bukan cuma agresif, tapi juga liar sekali.
Baru kali ini aku merasakannya, juga baru tahu kalau laki-laki bisa merasakan nikmat ketika putingnya dijilat. Lidahnya bermain-main di dadaku, yang pada waktu itu memang masih sangat bidang. Jangan tanya lah kalau sekarang, ya. Melihatnya begitu semangat dengan aku yang sedang telanjang dada, terangsang sekali. Penisku menegang tapi akal sehatku langsung melemas. Selingkuh, pertama kali nya dalam hidup, sial. Aku padahal sudah janji. Tapi godaannya terlalu berat, ya, tuhan. Hanya sesaat aku terpegun, lalu melanjutkan aktivitas khilafku.
Aku tak mau kehilangan posisi inisiatif, akhirnya aku tarik lagi wajahnya untuk menciumnya, kemudian membalas ciumannya dengan memasukkan lidahku ke dalam mulutnya. Kini, sebaliknya, dia yang terkejut.
“Mmhh, Ka…”
“Ya, Belqis.”
“Itu, kamu tadi — ciumannya..”
“Kamu belum pernah dicium begitu?”
“Belum.”
Aku kembali melumat bibirnya kali ini lidah kami beradu seru. Hingga seluruh rahangku kelu, dengan geli, linu, dan basah. Tubuhnya semakin condong ke arah tubuhku, terpaksa tanganku harus menyangga ke dinding. Adegan saling menjilati lidah masing-masing ini membuat ku justru terdesak, tapi tak mau kalah, tanganku menggunakan kesempatan itu untuk juga menyentuh payudaranya dari luar. Bagian tubunya yang ini lembut juga.
Kembali aku mengutuk dan memaki. Gila!
Ini toket lembut dan kenyal sekali. Perlahan remasanku makin berani di toketnya meski dari luar baju dan jilbabnya. Aku agak menyingkap jilbabnya ke samping untuk melihat dengan jelas belahan nenenya dari balik kaosnya. Sedikit yang terlihat, kulitnya putih mulus dengan dada menggantung seperti buah mangga mengkal. Tak kusadari aku langsung meneguk liur. Sentuhan ku di payudaranya yang besar berubah-ubah, dari remasan, menjadi usapan, dan ketika menemukan putingnya yang menonjol menjadi pilinan.
Dia menggelinjang.
“Rakaa…. Ahh… ”
“Enak, sayang?”
“Enak, banget.”
“Gantian aku yang jilatin puting, kamu ya?”
“He-eh.”
Angguknya pasrah.