Ceritatetangga.com – SAN G PELOMPAT MASA. Sebelumnya aku pernah dengar kalau pemandian air hangat yang kutuju ini banyak orang yang mandi telanjang. Pasti seru saja bisa melihat orang begini dan begitu pikirku. Tempatnya dekat dengan perumahan penduduk tapi daerah itu sendiri cukup sepi. Sore sudah berlalu dan keadaan cukup gelap di tempat itu. Sinar yang menerobos masih cukup untuk menerangi, sekedar tahu ada orang atau tembok.
Udara dingin sekarang lebih terasa saat kubuka helm yang melindungi kepalaku. Sejuk lebih tepatnya.
“Dua ribu mas parkirnya sekalian…” ujar tukang parkir.
Kuulurkan uang dua ribuan.
Tempat pemandian itu sangat sederhana, hanya tembok segi empat dengan lubang berbentuk kotak sebagai pintu yang ditutup tirai seadanya. Sederhana sekali. Aku melongokkan ke dalam ruang itu. Di kotak pemandian itu ada dua orang cowok yang bertelanjang bulat mandi di bawah pancuran. Mereka melihat ke aku lalu kembali asyik dengan obrolan mereka dengan cueknya.
Aku melihat ruang sebelah lagi. Sepi, dan airnya tidak sekencang di ruang sebelah. Kuputuskan untuk di sebelah saja.
“Boleh gabung mas?”
“Monggo.. monggo mas” keramahan khas jawa tengah.
Konon kata peribahasa, lain ladang lain belalang lain lubuk lain ikannya. Kurang lebih berarti bahwa adat kebiasaan suatu tempat berlainan dengan lain tempat, oleh karena itu kita harus pandai menyesuaikannya. Jadi kalau mas mas ini berdua mandi dengan bertelanjang bulat, aku haruslah bijak, tidak boleh berpakaian karena mungkin akan menyinggung adat dan kebiasaan mereka. jadi kuputuskan membuka bajuku dan bertelanjang bulat seperti mereka.
Aku mendapat pancuran ketiga di sisi sebelah kanan. Untung saja gelap jadi aku yakin mereka tak akan melihat jelas bentuk kontolku.
“UH!” aku agak berteriak kaget karena panasnya air. Ini pasti lebih dari 40 derajat selsius, mungkin 50 atau 60 derajat. Aku mulai membiasakan diri selama beberapa menit hingga bisa duduk di bawah pancuran mata air panas. Mata air panas sepertiini adalah anugerah bagi daerah daerah yang berada di kawasan dekat dengan gunung berapi baik aktif maupun tidak. Namun lebih banyak di dekat gunung berapi yang tidak lagi aktif.
“Mas ini dari mana, mas?” Orang di sebelahku memulai percakapan.
Ramah juga orang ini. Setelah menyebutkan nama kota dan dilanjutkan dengan basa basi serta sejarah kedatanganku ke tempat ini, kami diam lagi.
“Uwis njuh…” kata teman di pojok seraya berdiri.
Yah, mereka sudah selesai.
“Kami duluan mas…” pamit orang mengajakku ngobrol tadi.
“Monggo.. monggo mas…”
Mereka berdua berdiri lalu berpakaian tanpa mengenakan celana dalam lagi. Sesudah mengemasi semua mereka berpamitan sekali lagi. Kujawab pula dengan jawaban yang sama. Aku sendiri kini dalam kegelapan di bawah kehangatan air panas.
Terdengar suara motor parkir. Lalu sebentar kemudian ada yang melongok. Dua lelaki masuk. Satunya memang bergaya ‘agak’ gemulai tapi satunya mirip Rio Dewanto. Aku hanya mengamati mereka menggantikan tempat dua orang tadi. Si Rio mengambil posisi di tengah. “Sudah lama mas?” tanyanya.
Belum sempat menjawab…
Kudengar suara derap kuda dokar mendekat. Pandanganku agak kabur lalu jelas lagi. Pendegaranku tadi juga sayup sayup dan sekarang benar benar jelas. Aneh malam begini ada yang naik dokar ke daerah ini.
“Kisanak sebaiknya bersembunyi…” ujar si ganteng
Mereka menyambar pakaian mereka lalu berlari meloncati tembok belakang ke arah mata air yang tak terlalu tinggi. Aku bingung dengan apa yang terjadi.
Dua orang berpakaian jawa kuno masuk dengan membawa tombak.
“Sebaiknya tuan Arya Sembrani berpakaian karena kami harus membawa tuan …”
Siapa Arya Sembrani? Kenapa aku dipanggil tuan? Ini sepertinya polisi atau tentara jawa kuno.
“Apa salahku?” ucapku dalam bahasa sepertinya bahasa jawa kuno. Aku masih belum sempat berpakaian, namun aku keburu diseret paksa.
* * * * * *
Dikerangkeng di kandang kayu seperti kandang kambing tanpa mengenakan sehelai benangpun bukanlah hal yang menyenangkan. Tapi terlempar ke masa lalu membuatku sangat bergairah. Apalagi dijaga oleh seorang penjaga dengan busana tanpa atasan. Badannya kekar, coklat dan sehabis apel pagi tubuhnya akan mengkilat berkeringat.Kekurangannya hanya satu… bau.
Aku sudah mulai menjalin komunikasi dengannya. Akupun dapat info bahwa aku disebut-sebut sebagai Arya Sembrani, mata-mata yang paling dicari karena selalu membocorkan rahasia Majapahit. Aku tidak begitu mempedulikan semua itu.
Sentot begitu nama penjagaku selain pak Marto Tua yang hobinya tidur.
“Tot, kamu segede ini pernah coli gak?”
Kumulai percakapan ke arah yang tepat.
“Apa itu mas?”
Kuperkirakan awalnya awal duapuluhan atau mungkin belum sampai dua puluh. Tapi sudah lama dia masuk ke kesatuan pasukan, hanya saja otaknya agak kurang cerdas alias agak bodoh sehingga dia ditempatkan sebagai penjaga tahanan. Kebetulan hanya 3 orang termasuk aku yang harus dijaga.
“Coli itu begini loh…” kataku memperagakan dengan telunjuk jari kiri yang kuselubungi tangan kanan lalu kumajumundurkan.
“Begini mas?” lalu dia meletakkan tombak dan menirukan.
Memang ****** si Sentot ini.
“Bukan begitu, cah pinter… tapi yang dikocok kontolmu”
“Mana bisa mas, kan lemes begitu…..?”
“Sini dekat sini….”
Sentot mendekat ke kerangkeng yang mengurungku. Kuraih sarung yang menutupi auratnya itu. Tiba-tiba tanganku ditepis.
“Jangan mas… malu”
“Ck.. tidak apa-apa Tot… nanti kamu juga boleh pegang punyaku. Jadi sama-sama dan tidak perlu malu. Kan kita sama-sama punya kontol.”
Sentot mendekat lagi. Kini dia menyentuhkan tangan ke arah selakanganku agak gemetar. Dekat begini bau tubuhnya yang jarang mandi sangat tercium. Aku coba membiasakan diri dengan ini. Badannya gempal, perutnya sixpack, tapi bodohnya cuma setingkat lebih tinggi dari monyet. Untung saja dia masih punya nafsu.
Setelah beberapa kali remasan kontol Sentot mengeras juga. Kontolku juga. Sentot menunduk tak berani sama sekali melihat wajahku. Mungkin dia malu karena kontolnya pendek lain dengan punyaku. Tangannya dingin dan agak gemetar.
“Punya mas… panjang ya… nanti kalau sudah dewasa punyaku juga panjang ya mas…”
Ngarep banget si Sentot ini. Panjang dan besar kontolku ini memang sudah dari sananya. Bukan karena sentuhan dukun.
Tanganku membuka kain yang menutupi kontol Sentot. Kain yang dipakainya berbeda dengan gambaran busana jawa yang sering ada di film atau di sinetron. Lilitan kainnya lebih mirip gambaran di wayang dan tanpa celana dalam.
Kontol Sentot tidak sunat. Ya tentu saja… masa itu sunat belum dikenal di jawa dwipa. Kukocok perlahan, Sentot meringis kegelian atau perih. Tangannya menahan tanganku supaya berhenti atau memelankannya. Aku pilih memelankan kocokanku…
“Mas, rasanya aku pengen pipis… ” ujarnya.
Croot!
Sperma pertama seumur hidupnya muncrat mengenai pintu kerangkeng dan sedikit mengenai aku. Wajah Sentot memerah. Antara malu dan tak mengerti yang terjadi.